Jumat, 11 Januari 2008

Kaidah-kaidah Islam Menyikapi Budaya Asing

Di tengah masyarakat masih terdapat kekaburan pemahaman dalam mengidentifikasi mana budaya Islam dan mana budaya asing. Sehinga budaya asing begitu saja menyerang masyarakat muslim saat ini. Bagaiamana sebenarnya kaidah-kaidah Islam menyikapi budaya asing ini? Tulisan berikut akan menjelaskan perkara ini. [pengantar redaksi]

Pendahuluan : Istilah ”Budaya”

Istilah budaya dalam literatur keislaman Bahasa Arab sering disebut dengan istilah ”al-hadharah”. Secara ringkas al-hadharah artinya adalah thariqah mu’ayyanah fi al-’aiys (metode hidup yang khas), baik di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya (Al-Qashash, 1996). Dan karena cara hidup yang khas itu lahir dari suatu pandangan hidup yang khas, maka substansi budaya (al-hadharah) sebenarnya adalah pandangan hidup yang khas (mafahim ’an al-hayah). Karena itulah sebagian pemikir muslim seperti Al-Qashash dalam Usus An-Nahdhah Ar-Rasyidah (1996) mendefinisikan al-hadharah sebagian sekumpulan pandangan hidup yang khas (majmu’ al-mafahim ’an al-hayah).

Dari sinilah dapat kita pahami batasan Budaya Barat (al-hadharah al-gharbiyah) dan budaya Islam (al-hadharah al-islamiyah). Budaya Barat merupakan sekumpulan pandangan hidup yang khas dari negara-negara Barat, seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan sebagainya. Sedangkan Budaya Islam merupakan sekumpulan pandangan hidup yang khas menurut perspektif Islam, seperti Aqidah Islam dan Syariah Islam beserta segala ide-ide cabangnya.

Istilah lain yang dekat dengan al-hadharah adalah ats-tsaqafah. Jika al-hadharah kadang diterjemahkan juga sebagai peradaban (selain diterjemahkan sebagai budaya), maka ats-tsaqafah sering juga diterjemahkan sebagai budaya dalam bahasa
Indonesia. Kata ats-tsaqafah secara umum didefinisikan sebagai segala pengetahuan non eksperimental. dalam istilah Waqar Ahmed Husaini (2002) dalam Islamic Sciences, tsaqafah disebut ilmu-ilmu sosial humaniora (humanistic social sciences). An-Nabhani (1973) dalam At-Tafkir mendefinisikan ats-tsaqafah sebagai segala pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (ikhbar), penyimpulan (istinbath), dan penyampaian transmisional (talaqqiy). Contohnya adalah ilmu sejarah, hukum, filsafat, sosiologi, dan sebagainya. Dengan demikian istilah ats-tsaqafah diposisikan sebagai lawan dari ilmu-ilmu eksperimental yang diistilahkan dengan sebutan al-’ilmu (natural sciences), semisal fisika dan kimia.

Dari istilah ats-tsaqafah ini lalu lahir istilah ats-tsaqafah al-islamiyah yang berarti ilmu-ilmu keislaman yang berpangkal dari Aqidah Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu mustholah hadits, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, bahasa Arab, dan sebagainya. Sedangkan lawannya, dapat disebut ats-tsaqafah al-ajnabiyah (tsaqafah asing) atau ats-tsaqafah al-gharbiyah (tsaqafah Barat). Misalnya ilmu ekonomi Barat (misal mazhab Keynessian atau Neoliberalisme), ilmu politik Barat, ilmu hukum Barat (Continental /Anglo Saxon), dan seterusnya.

Istilah al-hadharah dan ats-tsaqafah berhubungan erat. Ats-tsaqafah dapat dikatakan sebagai ”bahan mentah” dari sebuah al-hadharah. Jika suatu komunitas masyarakat memahami dan meyakini tsaqafah tertentu, lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka, maka jadilah tsaqafah itu sebagai hadharah (cara hidup) bagi komunitas tersebut. Jika komunitas itu hanya memahami tapi tidak meyakini tsaqafah itu, maka tsaqafah itu hanya berhenti sebagai pengetahuan belaka, tidak menjelma sebagai suatu cara hidup (hadharah).

Kaidah Islam Menyikapi Budaya Asing

Saat ini umat Islam di mana pun juga tengah menghadapi ujian yang sangat berat. Mereka tidak lagi hidup dalam budaya sendiri (al-hadharah al-islamiyah), tapi hidup dalam dominasi budaya Barat yang sekular (al-hadharah al-gharbiyah), di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, pergaulan, dan sebagainya. Seorang muslim ibarat ikan yang tidak lagi hidup dalam habitatnya yang alami yaitu air, tapi dipaksa hidup di darat, di luar habitatnya. Ikan ini pasti akan segera mati. Artinya, seorang muslim akan tergerogoti dan tergerus jatidiri keislamannya sedikit demi sedikit.

Kehidupan yang tidak wajar ini tentu akan menimbulkan kehancuran bagi tiap-tiap individu muslim. Kecuali mereka yang mampu bertahan dan berpegang teguh dengan Budaya Islam serta mampu bertahan dari cengkeraman dan dominasi budaya sekuler. Di sinilah diperlukan pemahaman tentang kaidah-kaidah Islam dalam menyikapi budaya Barat sekular saat ini, agar seorang muslim dapat istiqamah berbudaya Islam dan tidak terjerumus ke dalam Budaya Barat yang sesat.

Berikut ini di antara kaidah-kaidah Islam dalam menyikapi budaya asing seperti Budaya Barat sekular :

1. Islam wajib dipahami sebagai agama yang komprehensif (syumuliyah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia dalam berbagai hubungannya, dan bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah mahdhah).

Kaidah ini sangat penting dimengerti, karena berfungsi untuk membedakan secara kontras antara Islam dengan ”agama” dalam pengertian Barat yang dipahami secara sekular. Agama dalam kacamata Barat hanya mengatur hubungan dengan Tuhan, tapi tidak mengatur aspek ekonomi, politik, sosial, dan seterusnya.

Berbeda dengan perspektif Barat itu, Islam tidak mengenal dan mengakui sekularisme. Islam adalah agama yang sempurna (lihat QS al-Maidah ; 3) dan telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Firman Allah SWT (artinya) : ”Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu...” (TQS An-Nahl : 89).

2. Aqidah Islam adalah asas/sumber bagi segala pemikiran Islam.

Kaidah ini berarti bahwa Aqidah Islam yang berpangkal pada kalimat Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah wajib dijadikan asas atau sumber bagi segala pemikiran bagi seorang muslim.

Dengan kata lain, seorang muslim tidak boleh mengambil asas / sumber pemikiran di luar Aqidah Islam. Misalnya, menjadikan aqidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) sebagai asas bagi berbagai konsep yang digagas oleh seorang muslim. Orang muslim yang berpikiran liberal dengan berbagai gagasannya seperti kebebasan beragama, sesungguhnya telah mengambil aqidah sekularisme (bukan Aqidah Islam) sebagai asas atau sumber pemikirannya. Ini tentu bertentangan dengan Islam, karena segala pemikiran dalam Islam wajib merujuk kepada Aqidah Islam yang termaktub dalam al-Qur`an dan As-Sunnah.

Firman Allah SWT (artinya) : ”Dan apa saja yang kamu perselisihkan tentang sesuatu, maka hukumnya terserah kepada Allah.” (QS Asy-Syura : 10).

Firman Allah SWT (artinya) ”Maka jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah).” (QS An-Nisaa` : 59).

3. Aqidah Islam adalah standar untuk menilai benar salahnya segala pemikiran yang ada di dunia.

Selain sebagai asas atau sumber pemikiran Islam, Aqidah Islam juga berfungsi sebagai standar (miqyas / mi’yar) berbagai pemikiran yang ada di dunia.
surat Al-Baqarah ayat 185, al-Qur`an disebut sebagai ”furqan”. Artinya, sebagai pembeda untuk membedakan antara yang haq dengan yang batil.

Maka dari itu, berbeda dengan pandangan paham Pluralisme yang cenderung menganggap benar semua agama, dalam pandangan Islam agama Yahudi dan Nashrani adalah tidak benar alias batil karena dinyatakan dengan tegas kekufurannya oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an (lihat QS Al-Maidah : 73; QS At-Taubah : 29; QS Al-Bayyinah : 6). Hanya Islamlah agama yang benar (QS Ali ’Imran : 19).

Demikian pula paham-paham modern Barat, seperti demokrasi, wajib dinilai dengan kacamata Aqidah Islam. Dalam Islam demokrasi adalah ide batil dan kufur. Sebab prinsip demokrasi menyatakan bahwa manusialah yang berhak membuat hukum (kedaulatan rakyat). Sedang dalam Islam, hanya Allah SWT saja yang berhak membuat hukum, bukan yang lain.

Firman Allah SWT (artinya): ”Menetapkan hukum hanyalah hak Allah.” (QS al-An’am : 57).

4. Syariah Islam (halal haram) adalah standar untuk menilai segala perbuatan muslim.

Kaidah ini menegaskan bahwa bagi seorang muslim, segala macam perbuatannya wajib diukur dengan standar syariah Islam (halal haram). Dalam kitab al-Fikr al-Islami, Muhammad Muhammad Ismail (1958) merumuskan sebuah kaidah syariah untuk menilai baik buruknya perbuatan muslim. Bunyinya: Al-hasanu maa hassanahu asy-syar’u wa al-qabiihu maa qabbahahu asy-syar’u. (Perbuatan baik (terpuji) adalah apa yang baik menurut syariah dan perbuatan yang buruk (tercela) adalah apa yang buruk menurut syariah.

Maka dari itu, berpacaran adalah buruk, karena syariah mengharamkan segala perbuatan yang mendekati zina, apalagi zinanya itu sendiri (QS al-Isra’ : 32). Tidak memakai kerudung (khimar) dan jilbab (jubah) adalah buruk, karena keduanya telah diwajibkan dalam Islam (lihat QS Al-Ahzab : 59; QS An-Nuur : 31). Demikian juga berdua-duan (khalwat) dengan lain jenis bukan mahram adalah buruk, karena perbuatan itu telah diharamkan Islam.

Berbeda dengan ini adalah kaidah yang diajarkan secara sistematis dalam Budaya Barat, yaitu standar perbuatan baik dan buruk adalah manfaat (al-naf’iyah). Pahamnya bernama Pragmatisme atau Utilitarianisme, yang menyatakan bahwa baik buruknya suatu perbuatan dilihat dari ada tidaknya manfaat dari perbuatan itu. Walhasil, riba akan dianggap baik, karena bisa menimbulkan manfaat bagi pemungut riba (perbankan atau nasabah). Judi atau prostitusi akan dianggap baik, karena bisa menumbuhkan lapangan kerja dan menghasilkan income. Dan seterusnya. Tentu cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir sesat yang sangat bertentangan dengan Islam.

Penutup

Demikianlah sekilas beberapa kaidah dalam Islam yang sekiranya dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menyikapi suatu budaya asing, entah itu Budaya Barat (Sekular) atau yang lainnya, semisal Budaya Marxisme.

Sesungguhnya upaya yang ideal adalah membentuk Budaya Islami seutuhnya, atau dengan kata lain membentuk cara kehidupan Islami secara total dalam sebuah sistem sosial bernama masyarakat Islam yang menjalankan syariah Islam secara menyeluruh (kaffah). Namun tampaknya hal ini masih merupakan tujuan jangka panjang yang sayangnya belum dapat kita wujudkan saat ini.

Faktanya, kita saat ini masih berkubang dalam Budaya Barat yang sekular dalam segala seginya. Maka setidaknya kita harus berusaha istiqamah dalam Islam dan bertahan dari gempuran Budaya Barat yang destruktif dan berbahaya terhadap keislam kita ini. Lebih dari itu, kita pun harus berupaya untuk mengubah tatanan masyarakat sekular yang ada saat ini. Budaya Barat ini sudah saatnya kita hancurkan dan kita ganti dengan Budaya Islam. Tidak ada pilihan lain. [ ]

AIDS,kondom dan demokrasi

Pohon berdiri ditopang akar

Coba deh kamu perhatikan sebuah pohon yang terlihat kuat. Apa sih yang membuat tuh pohon mampu berdiri kuat menjulang secara gagah? Batang-batangnya sangat kokoh dan mengeluarkan daun, bunga bahkan buah yang indah dan lezat. Ternyata, ada sesuatu yang sangat penting di bawah sana meski kadang dilupakan orang: Akar. Kekuatan akar menjadi kunci bagi kuat tidaknya posisi sebuah pohon untuk tegar berdiri.
Manusia pun tak jauh beda. Di balik sikap keukeuh seseorang untuk bertahan pada suatu pendapat dan sikap tertentu, itu juga karena ada akidah dalam dirinya. Ibarat akar pada pohon yang tersimpan jauh di dalam tanah, akidah pada diri manusia ini juga tidak terlihat secara kasat mata.
Akidah adalah keyakinan yang mendalam, mendasar dan menyeluruh tentang manusia, alam sekitar dan kehidupan baik sebelum ataupun setelah mati. Hal inilah yang akan mewarnai dan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika seseorang menganggap bahwa melakukan hubungan seks di luar nikah alias berzina adalah hal yang sah-sah aja karena itu adalah hak asasi tiap manusia yang harus dilindungi, maka tidak bisa tidak orang seperti ini pastilah berakidah sekuler alias memisahkan agama dari kehidupan. Agama dipandang sebagai urusan individu yang cuma mengurusi hubungan manusia dengan tuhan. Selebihnya, serahkan saja pada otak dan hukum buatan akal manusia. Tidak ada seorang pun, tidak juga masyarakat dan negara yang berhak melarang perzinaan apabila dilakukan suka sama suka. Toh, nggak ada pihak yang dirugikan, itu yang selalu menjadi dalih orang-orang model begini. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang tidak meyakini (minimal kurang yakin) adanya surga dan neraka setelah kehidupan berakhir.
Bila pun mereka yakin surga dan neraka ada, mereka akan berpikir: “Toh bukan aku pelakunya. Kalau nggak mau diganggu urusan kita, maka jangan mau mengganggu urusan orang lain. Toh, kebebasan berperilaku dilindungi oleh undang-undang.” Yang menjadi fokus mereka hanya berusaha mencegah efek negatif dari kebebasan berperilaku ini. Kondomisasi dianggap sebagai solusi. Mereka lupa (atau pura-pura lupa?) bahwa pembagian kondom gratis hanyalah menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Kayak orang mademin kebakaran tapi bikin kebakaran baru. Kondom gratis ke sekolah-sekolah (bahkan ada yang ke SD, lho-lihat Republika, 9 Desember 2007) menjadi bom waktu untuk rusaknya moral generasi muda suatu bangsa.
Demokrasi, si biang kerok
Kebebasan berperilaku menjadi daya tarik tersendiri atas slogan HAM yang dengungnya sangat laris manis bak kacang goreng. Siapa sih yang nggak pengen untuk bisa bebas berperilaku tanpa ada yang melarang? Mau begini, mau begitu, suka-suka gue selama nggak merugikan orang lain. Otomatis induk dari kebebasan berperilaku ini akhirnya juga laris manis mengikuti turunannya. Apakah induk kebebasan berperilaku ini? Tak lain dan tak bukan adalah konsep Demokrasi.
Selalu ada awal bagi sebuah perjalanan. Selain sekularisme yang mendasari maraknya seks bebas, demokrasi turut andil untuk meramaikan panggung kerusakan dunia. Sistem kuno warisan jaman Yunani kuno ini adalah biang kerok dari semua masalah-masalah di dunia termasuk kebebasan berperilaku ini.
Oya, yang perlu diwaspadai, demokrasi ibarat bunglon yang pandai mengubah bentuk sehingga membuat siapa saja yang memandang bakal terkecoh. Tidak sedikit kaum muslimin yang dengan suka cita menyambut ide ini hanya karena ada salah satu bagian dalam demokrasi mirip dengan Islam, misalnya musyawarah. Padahal faktanya demokrasi jauh lebih menyukai pengambilan pendapat dengan poling atas suara terbanyak daripada musyawarah itu sendiri.
Demokrasi yang mempunyai slogan suara rakyat adalah suara Tuhan meyakini bahwa suara mayoritas adalah pemenang. Jadi kalo ada 10 wakil rakyat terdiri dari 9 perampok dan cuma satu saja orang baik, maka keputusan yang dihasilkan pastilah kesepakatan para perampok. Inilah yang disebut suara mayoritas, tanpa peduli salah atau benar. Dengan demokrasi yang halal bisa menjadi haram, dan yang haram bisa pula menjadi halal.
Boys and gals, dalam demokrasi berzina bisa menjadi halal ketika mayoritas rakyat atau wakilnya mengatakan demikian. Maka, lokalisasi pelacuran bisa menjadi aset negara untuk ngumpulin pajak. Jilbab yang jelas-jelas wajib bagi perempuan menjadi haram ketika undang-undang mengatakan demikian. Masih ingat kan dengan kasus diusirnya banyak muslimah di sekolah negeri tahun 90-an hanya karena tidak mau melepas kerudungnya dalam kelas?
Sungguh naif banget kalo ada orang yang menyamakan demokrasi dengan musyawarah apalagi dengan Islam hanya karena sangat sedikit kemiripan di antaranya. Kalo kamu suka pisang dan monyet pun juga suka, apakah itu artinya kamu sama dengan monyet? Tentu nggak dong. Kecuali kalo kamu emang ngefans sama Charles Darwin yang mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah monyet. Hiii… naudzhubillah banget. Bagi yang meyakini teori Darwin ini, sedikit bisa dimaklumi kalo kelakuannya juga nggak beda-beda jauh dengan monyet yang nggak butuh lembaga pernikahan untuk menyalurkan nafsu seksualnya. Ciloko!
Baik dan buruk, menurut siapa?
Kebenaran/kebaikan itu relatif, demikian slogan yang sering disuarakan oleh para pengusung demokrasi. Kalo kebenaran memang relatif, seharusnya tidak perlu ada penegak hukum di dunia bila penganut demokrasi konsisten dengan slogan ini. Bayangkan saja seorang polisi yang menangkap pencuri dengan alasan merugikan orang lain dan mengganggu ketenangan umum. Bisa saja si pencuri berkilah itu kan kebenaran menurut versi polisi. Sedangkan menurutnya, kebenaran adalah mencari sesuap nasi untuk anak yang menangis di rumah karena tiga hari tidak makan. Maka, tidak seharusnya polisi menghukum si pencuri dong. Lha kalo begini kondisinya, bisa kacau dunia. Sehingga tidak bisa tidak, harus ada standar yang tepat dan pas bagi manusia karena satu sama lain pastilah mempunyai kemauan dan kepentingan yang berbeda-beda.
Standar tepat dan pas ini adalah hukum syara’, yakni aturan Islam. Apa yang baik menurut syara’, pasti baik untuk manusia. Biar kata seluruh dunia mengatakan bahwa berzina itu adalah hak asasi manusia, selama syara’ menyatakan haram, maka haram pula hukumnya hingga hari kiamat kelak. Berkasih sayang dengan lawan jenis akan menjadi halal bila dilakukan setelah akad nikah, bukan sebelumnya.
Intinya, yang membedakan manusia beriman dan bukan adalah standar yang dipakainya dalam beramal. Kalau sekadar mengaku muslim saja semua orang juga bisa. Kan gampang banget tuh mencantumkan status agama sebagai orang Islam di KTP. Tapi tentang lurusnya akidah dan amal? Ini yang kudu dipertanyakan bagi orang yang suka mengaku-aku muslim tapi nggak pake aturan Islam dalam seluruh aktivitas kehidupannya.
Jadi, solusi untuk menekan bertambahnya korban AIDS bukan dengan cara membagikan kondom gratis. Cara efektif untuk menyelesaikan masalah secara tuntas adalah adanya benteng takwa pada individu, masyarakat dan negara. Dengan ketakwaan individu, maka manusia akan mempunyai kontrol diri untuk tidak melakukan zina. Didukung oleh ketakwaan kolektif masyarakat, maka bisa dipastikan rakyat akan menolak adanya lokalisasi dan memberikan sanksi sosial bagi pelaku zina. Dan yang utama dari semua ini adalah penerapan aturan dan sanksi oleh negara. So, negaralah yang berwenang menutup keberadaan lokalisasi zina dan beragam kemaksiatan lainnya. Negara berkewajiban juga memberi hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan ini, gitu lho.
Memang, mewujudkan kondisi ideal ini tidak mudah. Tapi bukankah tidak ada sesuatu di dunia ini yang mudah? Apalagi dengan hadangan paham hedonisme (paham serba boleh), kapitalisme dan demokrasi membuat upaya ini menjadi semakin tidak mudah. Tapi yakinlah bahwa Allah Swt. melihat proses yang kita lalui untuk memperjuangkan syariatNya. Akan jauh lebih nyata niat untuk mengurangi angka penderita AIDS dengan menyadarkan masyarakat akan pemahaman Islam yang benar. Bukan dengan malah membagi kondom gratis dan mengompori remaja untuk mencoba seks dengan kondom gratisan. Saya teringat sharing seorang teman yang membagikan brosur taat kepada syariat dengan solusi penerapan Islam sebagai ideologi negara dalam peringatan hari AIDS sedunia tempo hari. Pada saat yang sama dan hanya berjarak beberapa meter darinya, para aktivis kondom membagikan benda terbuat dari lateks ini secara gratis. Ironis!
Penanggulangan AIDS akan jauh lebih efektif bila saja perilaku save sex mempunyai satu suara dari seluruh komponen masyarakat: yakni, “No Free Sex”. Tidak lagi ada alasan apa pun bahwa melakukan seks atau tidak itu adalah hak pribadi masing-masing. Setiap individu mempunyai kewajiban mengingatkan saudara, teman, dan sahabat untuk tidak melakukan seks sebelum menikah secara sah.
Rasulullah saw. tercinta bersabda: “Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)
Masyarakat kita saat ini justru cuek satu sama lain. Kalo gitu, tinggal nunggu kehancuran karena merasa bahwa kebebasan berperilaku adalah hak asasi manusia. Waduh!Moga aja paparan ini mampu membuka mata hati dan pikiran kamu untuk mendapatkan pencerahan. Kondomisasi apa pun alasan di baliknya dengan dalih apa pun, adalah suatu upaya pelegalan seks bebas. Sekularisme dan demokrasi adalah biang kerok kerusakan akhlak dan tatanan sistem dalam masyarakat saat ini. Oleh karena itu saatnya dengan tegas kita katakan bahwa syariat Islam adalah solusi. Caranya? Ayo, ngaji! Supaya kamu nggak terjerumus jadi aktivis untuk kegiatan yang salah dan bahkan merusak generasi. Nah, sambil ngaji, barengi deh dengan dakwah untuk sampaikan kebenaran Islam. Setuju? Pasti dong. Sip dah!

Sabtu, 05 Januari 2008

Setelah Sadam Jatuh, Perdagangan CD Porno Marak

Jatuhnnya Saddam Hussein dan masuknya Amerika, jumlah pedagang kaki-lima yang menjual VCD porno kian marak. Termasuk obat-obatan pembangkit seks

Hidayatullah.com--Jumlah pedagang kaki lima yang melakukan operasinya di sepanjang taman Maidan Tahrir hingga Maidan Thairan di wilayah Bab Sharq Baghdad meningkat pesat. Kebanyakan pelakunya adalah anak-anak remaja. Di tempat itu mereka dengan bebas menjual obat-obatan pembangkit seks, alat-alat seks yang dikemas dengan bungkus yang bergambar porno, serta cd yang berisi film-film porno. Kebanyakan barang-barang itu datang dari Amerika, Perancis dan Jerman.

Sebelumnya, undang-udang Iraq melarang perdagangan barang-barang tersebut. Tapi kini pemerintah membiarkan aktivitas itu, dan para petugas keamanan yang ditugaskan di wilayah itu membiarkan kegiatan tersebut berlangsung.

Mayoritas pedagang adalah kaum lelaki, akan tetapi obat-obat seks untuk kalangan wanita juga dijual. Ahmad (25), salah satu penjual mengatakan, "Setelah Sadam jatuh, barang-barang tersebut menyebar secara tiba-tiba di tempat itu, hingga menjadi besar seperti saat ini. Banyak yang

berminat untuk membeli barang-barang itu, dari berbagai tingkatan umur. Serta ada yang membeli obat-obat seks bagi kaum wanita".

Pemuda yang sudah 4 tahun menjalani profesi ini juga mangatakan bahwa ia memperoleh barang-barang itu dari para penjual "khusus", juga hasil selundupan dari Perancis Amerika dan Jerman.

Para pedagang benda-benda itu berdagang bersama para penjual toko-toko alat listrik, kain, dll. [Al Arabiya/thoriq/www.hidayatullah.com]

Jumat, 04 Januari 2008

Wapres jamin tak ada kenaikan harga BBM.

Republika.co.id

JAKARTA -- Pemerintah mulai mengencangkan ikat pinggang. Kekhawatiran dampak terburuk atas sempat tembusnya harga minyak mentah 100 dolar AS per barel, membuat Menkeu mengeluarkan perintah agar kementerian atau lembaga (K/L) menghemat 15 persen dari pagu anggaran 2008 masing-masing.

Perintah Menkeu itu tertuang dalam surat No S-1/MK.02/2008 tanggal 2 Januari 2008 perihal langkah dasar penghematan anggaran. Dalam suratnya kepada menteri dan pimpinan lembaga itu, Menkeu menyatakan, ''Kementerian atau lembaga diminta agar segera melakukan penyisiran atas kegiatan yang tidak prioritas, sehingga dapat dihemat alokasi dananya hingga tercapai angka 15 persen.''

Sebagai tindak lanjut, kementerian atau lembaga diminta melakukan koordinasi internal untuk menentukan kegiatan mana yang belum masuk prioritas. Usulan itu kemudian disampaikan ke Dirjen Anggaran Depkeu supaya masuk daftar kegiatan tidak prioritas di dokumen anggaran.

Kegiatan yang masuk daftar bukan prioritas akan diblokir pencairan anggarannya. Menkeu pun meminta agar kegiatan tak masuk daftar prioritas itu ditunda pelaksanaannya tahun ini. ''Daftar tersebut harus diserahkan ke Dirjen Anggaran selambatnya akhir Januari 2008,'' tulis Menkeu.

Namun, meski menteri dan pimpinan lembaga diminta berhemat, surat tersebut memberi pengecualian. Mereka yang anggaran kegiatannya tak boleh dipotong adalah lembaga noneksekutif, seperti DPR, MPR, BPK, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga yang menangani bencana alam, yakni BRR, BPLS, dan Bakornas PB.

Kegiatan dasar, seperti pembiayaan gaji dan honorarium juga tak masuk daftar yang boleh dipangkas. Demikian pula dengan kegiatan yang bersumber dari pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN), penerimaan negara bukan pajak (PNBP) khusus untuk badan layanan umum (BLU) dan badan hukum milik negara (BHMN).

Penghematan pemakaian energi dan listrik, serta menggenjot produksi minyak nasional, menurut Wapres, Jusuf Kalla, merupakan cara terbaik menghadapi lonjakan harga minyak dunia. Untuk mengimbangi kenaikan harga minyak, salah satu yang ditempuh adalah penghapusan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk barang migas impor yang mulai berlaku 1 Januari 2008.

Pemerintah, katanya, menginginkan stabilitas di dalam negeri. ''Intinya pada 2008 adalah penghematan konsumsi dan peningkatan produksi. Itu saja, tidak cara lain. Karena kita sudah tetapkan tidak akan menaikkan harga BBM,'' ujar Kalla di Jakarta, Jumat (4/1). Peraturan pemerintah (PP) mengenai eksplorasi dan eksploitasi migas di lahan hutan pun akan dikebut penyelesaiannya guna mendorong produksi minyak. ''Kita tidak boleh hanya bicara, tapi tidak berbuat apa-apa untuk diri kita.''

Pemerintah, kata Menko Perekonomian, Boediono, memahami beban tambahan yang mesti ditanggung pelaku industri bila harga minyak dunia terus melambung. ''Itu (insentif untuk pelaku industri) merupakan salah satu isu yang terus kita lihat,'' kata Boediono. Sebagai langkah pencegahan risiko kenaikan harga minyak dunia, Menko terus mendorong pelaksanaan program konversi minyak tanah ke elpiji. ''Konversi ke elpiji terus kita lakukan.'' una/djo/ant

Fakta Angka

Rp 10,4
Potensi penghematan belanja kementerian/lembaga

Rp 11,7
Potensi penghemat dari penyerapan alamiah belanja barang dan modal.

Rp 54,7
Nilai devisit yang diharapkan dapat tertutup dari sembilan langkah pengamanan APBN 2008.

( )

Kamis, 03 Januari 2008

Islam dan Ideologi Transnasional



Ada yang menarik untuk dicermati dari pidato salah seorang tokoh Muslim negeri ini saat memperingati 100 hari wafatnya KH Yusuf Hasyim 29 April 2007 yang lalu sebagai mana dilansir harian ini hari Senin 30 April 2007. Dalam pidatonya, tokoh tersebut tidak sungkan-sungkan mendesak pemerintah untuk mencegah masuknya ideologi transnasional ke Indonesia, baik ideologi transnasional dari Barat maupun dari Timur.

Tokoh yang sama juga menyatakan, bahwa Islam adalah agama, bukanlah ideologi. Masih menurut dia, yang terjadi di Timur Tengah saat ini adalah akibat dari Islam sebagai ideologi, bukan sebagai agama. Benarkah demikian? Bisakah Islam dipisahkan sebagai agama dan ideologi? Lalu di manakah posisi Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, Alqaidah yang beliau kategorikan sebagai ideologi Islam di Timur Tengah dan bukan Islam dengan alasan Islam sebagai agama bukan gerakan kepentingan apalagi politis?

I

slam, agama, dan ideologi
Islam, menurut Imam Akbar Mahmud Syaltut, dalam kitabnya Al Islam 'Aqidatan wa Syari'atan (1966: 9-11) adalah dinullah yang seluruh ajarannya, baik akidah maupun syariatnya, telah disampaikan kepada Nabi SAW. Dari Alquran, kita tahu bahwa Islam mempunyai dua bagian pokok, di mana faktanya tidak akan pernah ada, dan maknanya juga tidak akan terealisasi, kecuali jika kedua bagian tersebut ada dan diwujudkan. Dua bagian itu tak lain adalah akidah dan syariat.

Ibarat bangunan, akidah adalah pondasi, sementara syariat adalah konstruksi dari seluruh bangunan yang dibangun di atasnya yang mengandung berbagai unsur bangunan seperti ibadah, muamalah, akhlak, ukhuwah Islamiyyah dan kelengkapannya. Sebagai pondasi, akidah memang tidak tampak di permukaan. Ini berbeda dengan syariat, karena akidah adalah aktivitas kalbu, sementara syariat adalah aktivitas fisik. Meski demikian, dua-duanya tidak dapat dipisahkan. Inilah Islam.

Islam adalah din yang lengkap dan sempurna (QS 05: 03). Sebagai din, Islam bukan hanya membahas masalah keakhiratan, tapi Islam juga membahas berbagai masalah keduniaan, seperti pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial-kemasyarakatan, politik luar negeri dan sebagainya, yang lazimnya menjadi wilayah ideologi. Karena itu, bisa disimpulkan, bahwa Islam adalah agama sekaligus ideologi.

Kita memang sering dirancukan dengan istilah ideologi, sebagai kerangka filosofis yang dihasilkan oleh manusia, seperti kapitalisme dan sosialisme. Sedemikian, sehingga Islam, menurut logika ini, bukan merupakan ideologi, melainkan agama. Alasannya, karena ideologi adalah kerangka filosofis yang dihasilkan oleh akal manusia, sementara Islam tidak. Padahal, konteks pembahasannya adalah sumber ideologi, bukan apa ideologi itu sendiri? Ini adalah dua fakta yang berbeda. Karena itu, dalam konteks sumber ideologi, bisa disimpulkan ada dua kategori ideologi, yaitu ideologi yang bersumber dari akal manusia, dan ideologi yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa Islam adalah ideologi yang bersumber dari wahyu Allah, yang jelas berbeda dengan kapitalisme maupun komunisme.

Agama dan ideologi transnasional
Istilah transnasional sering digunakan dengan merujuk pada penggunaan istilah kejahatan transnasional, dengan konotasi lintas batas negara. Jika ada agama dan ideologi yang disebut sebagai agama dan ideologi transnasional, itu adalah Islam. Kalau Islam bukan agama transnasional, maka tidak ada ibadah yang dilakukan lintasnegara, seperti haji, umrah dan jihad. Kalau Islam bukan agama transnasional, pasti praktik ibadah kaum Muslim di Indonesia berbeda dengan kaum Muslim di Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan sebagainya. Namun, justru karena shalat, puasa, zakat dan hajinya sama, maka semuanya ini membuktikan, bahwa Islam adalah agama transnasional.

Demikian halnya dengan Islam sebagai idoelogi. Persatuan umat Islam di seluruh dunia selama 14 abad dalam satu kebudayaan dan negara adalah bukti, bahwa Islam juga merupakan ideologi transnasional. Seperti kata Will Durant (1885-1981), "Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol. Islam juga telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupannya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh kepadanya pada saat ini (era Will Durant) sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka." (Will Durant, The History of Civilization, vol XIII).

Nah, dalam konteks agama dan ideologi transnasional ini, posisi Islam sama dengan Kristen dan Yahudi di satu sisi, dan dengan kapitalisme maupun sosialisme di sisi lain. Bedanya, jika Kristen dan Yahudi adalah agama transnasional, sama dengan Islam. Namun, kedua agama yang aslinya diturunkan kepada Bani Israil itu sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai ideologi secara hakiki. Sebab, ideologi hakiki adalah sekumpulan keyakinan yang menghasilkan sistem peraturan kehidupan, seperti sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik, dan lain-lain. Kedua agama Bani Israil itu hanya memuat sekumpulan keyakinan, ibadah ritual, dan budi pekerti. Para penganut mereka tunduk dalam sistem ideologi apapun yang diberlakukan, baik itu sistem sosialis, kapitalis maupun Islam. Sedangkan di dalam Islam, peraturan tentang bebagai sistem kehidupan tersebut secara sempurna dan menyeluruh telah tersusun secara sistematis di dalam syariat Islam yang kaffah.

Berkaitan dengan ajaran ideologi kapitalisme maupun sosialisme, keduanya adalah ideologi transnasional, sama dengan Islam. Bedanya, kapitalisme maupun sosialisme bukanlah agama, dan tidak akan pernah bisa menjadi agama. Dengan demikian, satu-satunya agama dan sekaligus ideologi transnasional yang utuh adalah Islam.

Pertanyaannya adalah, ideologi transnasional manakah yang dimaksud oleh tokoh tersebut, sedemikian gawatnya, sehingga dia memprovokasi pemerintah untuk mencegahnya. Jika yang dimaksud adalah sosialisme (komunisme), tentu kita setuju. Karena secara generik bertentangan dengan akal dan fitrah manusia, dan telah terbukti gagal. Demikian halnya, jika yang dimaksud adalah adalah kapitalisme, kita pun setuju. Namun, jika yang dimaksud itu adalah Islam, maka mencegah masuknya ideologi Islam transnasional jelas tidak mungkin.

Adapun posisi Ikhwanul Muslimin, Alqaidah, dan Majelis Mujahidin menurut hemat penulis bukanlah ideologi tetapi organisasi yang berideologi Islam. Posisi organisasi-organisasi tersebut kiranya sama dengan NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah, HMI, PII, dan lain-lain di Indonesia sebagai organisasi-organisasi yang berideologi Islam. Tentu saja pemerintah tidak bisa melarang organisasi-organisasi dakwah dan gerakan Islam tersebut karena ideologi Islam yang mendasari pikiran dan gerakannya.

Ikhtisar
- Selain menjadi agama, Islam juga telah menjadi ideologi yang menyebar secara transnasional.
- Posisi Islam sebagai agama dan sebagai ideologi tidak bisa dipisahkan.
- Keinginan untuk melarang masuknya ideologi transnasional harus diuraikan lebih tegas

Ironis Pesta Kemewahan dan Hura-hura di Tengah Jerit Tangis Korban Bencana










Akhir Tahun 2007 tidak lepas dari banyaknya bencana yang menimpa negeri ini. Di tengah-tengah berbagai musibah yang menyedihkan ini, ironisnya sebagian kaum Muslim malah menunjukkannya dengan perayaan pesta tahun baru yang penuh dengan kemewahan dan hura-hura. Demikianlah salah satu pernyataan sikap yang disampaikan Ketua Lajnah I'lamiyah Hizbut Tahrir Indonesia, M. Farid Wadji.Dalam pernyataan tertulisnya tentang bencana alam di berbagai tempat di Indonesia HTI menyampaikan keprihatinan yang amat mendalam atas terjadinya musibah di negeri ini. "Bagi yang meninggal dunia kami mendoakan agar diampuni dosanya oleh Allah SWT dan diberikan tempat yang layak. Bagi yang masih hidup agar menghadapi segala musibah ini dengan kesabaran dan tawakal," jelas Farid Wadji. Namun, menurut HTI seharusnya kaum Muslim mengambil pelajaran dari berbagai musibah tersebut, disamping merupakan gejala alam biasa, bencana alam ini tidak bisa dilepaskan dari keserakahan manusia yang merusak alam hanya untuk kepentingan materi tanpa memikirkan dampaknya bagi alam dan manusia. Seperti yang dinyatakan oleh Otto Soemarwoto, pakar lingkungan dari Universitas Padjadjaran, banjir dan longsor seperti terjadi saat ini sebagai risiko dari musim hujan yang diperparah dengan kerusakan lingkungan.Musibah ini juga memberi pelajaran tentang betapa lemahnya kita sebagai manusia dihadapan Allah SWT. Karena itu, kita harus bertanya pada diri kita apakah pantas kita mempertahankan sikap durhaka kepada Allah SWT dengan tidak taat kepada hukum-hukumNya. Bencana demi bencana ini seharusnya membuat kita lebih taat lagi kepada Allah SWT dengan mencampakkan sistem sekuler-kapitalisme selama ini yang telah membuat kita jauh dari Syariah Islam.Melihat lambannya tindakan pemerintah untuk menangani korban bencana, HTI sangat menyesalkan pemerintah juga sepertinya tidak mengambil pelajaran dari berbagai bencana yang terjadi sebelumnya. "Seharusnya, pemerintah jauh hari sebelumnya melakukan upaya pencegahan (preventif) untuk menghindari terjadinya bencana ini, paling tidak bisa meminimalisasi dampak kerusakannya. Karena itu, pemerintah harus melakukan penanganan secepatnya, menolong korban dan memberikan bantuan logistik yang diperlukan."Farid juga sangat menyesalkan sikap yang tidak mencerminkan rasa keprihatinan terhadap bencana ini, yang ditunjukkan dengan perayaan pesta tahun baru yang penuh dengan kemewahan dan hura-hura di tengah jerit tangis para korban banjir. "Seharusnya, dana yang besar untuk pesta tahun baru bisa diberikan kepada korban bencana yang jelas akan meringankan beban hidup mereka," tegas ketua Lajnah I'lamiyyah HTI ini.Di akhir pernyataan sikapnya, Hizbut Tahrir Indonesia menyerukan kepada umat Islam untuk mengulurkan bantuan apa saja yang bisa diberikan, sebagai manifestasi dari pelaksanaan fardhu kifayah guna membantu penderitaan korban bencana. Untuk itu, Hizbut Tahrir Indonesia juga telah membuka Posko HTI Peduli Banjir sejak 26 Desember 2007, melakukan evakuasi, membuka dapur umum, pelayanan kesehatan dan lain-lain.